Laman

Kamis, 14 Mei 2015

Aku Perempuan dan Aku Benci Menangis

 “Aku tak pernah berharap menjadi  perempuan yang kisah hidupnya akan begitu mudah ditulis oleh laki-laki dalam cerita pendek dan digantikan maknanya dengan uang.” ucap perempuan itu.

Ia muak dengan hidup. Hidup sebagai perempuan seakan memaksanya menjadi orang yang harus tersenyum manis, lalu berkata kepada dunia “Hai dunia! Aku perempuan! Aku dilahirkan untuk mewarnai dunia dan tugas utamaku adalah membantu urusan duniawi para lelaki agar manusia tak lekas punah.”
Dan, ia cukup kesal dengan anggapan orang bahwa pekerjaan perempuan itu mudah, cukup bersolek, belanja, mengurus pekerjaan rumah tangga, dan mengangkangkan kaki ketika di atas ranjang.
Nyatanya, menjadi perempuan mengharuskan untuk bisa mengerti orang lain, memaksa diri untuk terus tersenyum ketika berjumpa orang lain, tapi tak jarang segan memberi peluang untuk menghela napas kepada diri sendiri. Belum lagi perempuan harus menstruasi setiap bulan, mengernyitkan kening bahkan marah karena tabiat pedoman wajib orangtua kepada anak gadisnya untuk menyuruhnya segera menikah sebelum menginjak kepala tiga.
Ia sendiri bukanlah seorang perempuan yang menginginkan dogma-dogma itu datang kepadanya. Bayangkan saja, betapa menyedihkan menjadi perempuan yang harus menyerahkan masa depannya kepada penantian dan rasa malu karena lama mendapatkan pendamping hidup. Ah, membosankan sekali sepertinya harus memikirkan urusan remeh-temeh itu. Tak jarang, ia juga dibuat kesal oleh perilaku teman-temannya sendiri yang baru menginjak usia 30 tahun, dan merasa terancam hak hidupnya karena cap ‘Perawan Tua’. “Bodohnya.” Pikir perempuan itu.
Ia semakin tak mengerti bagaimana bisa hal-hal seperti itu merenggut kebahagiaan para perempuan. Bukankah masih banyak hal-hal yang sebaiknya mereka pikirkan atau kerjakan, daripada mengharuskan diri mereka terjebak kepada masalah omong kosong itu. Dan, tak ada yang membuktikan dengan benar bahwa menikah lama menandakan ketidak bahagiaannya diri seseorang atau menikah muda menandakan seseorang itu sudah mencapai tingkat kebahagiaan yang tertinggi dalam hidup. “Bullshit.” ucap perempuan itu.
Perempuan itu memang tak pandai bersolek untuk menjadi bunga. Ia tak memiliki kecakapan untuk membuat para laki-laki meliriknya, memperhatikannya, sekadar bertegur sapa menanyakan kabarnya pada pagi hari, atau menanyakan hal-hal apa saja yang ia lakukan di malam hari menjelang tidur. Ia memang seorang perempuan, dan kini ia ingin berhenti menjadi perempuan.
Seperti yang sudah ia jelaskan, ia seorang perempuan dengan beragam hal yang tidak spesial. Begitu banyak penolakan-penolakan yang tak pernah ia berikan sebelumnya untuk diterima oleh laki-laki. Ia bukanlah perempuan yang sengaja membuat rendah harkat dan martabatnya sendiri, memakai pakaian minim agar lekuk tubuhnya terlihat jelas, sampai-sampai puting susunya sendiri tercetak jelas dari pakaiannya. Ia adalah perempuan pintar yang tak mencari perhatian dengan cara menipu diri. Ia suka menceritakan hal-hal tabu, merayakan kegusaran, dan mencibir perayaan politik negerinya.
Maka tentu saja ia tak punya selera untuk bersolek. Ia perempuan  yang tak mengeluh ketika berdiri di antara panas dan dingin. Tak pusing memikirkan sepatunya akan basah, bahkan make-up yang luntur ketika hujan tiba. Ia suka mendengarkan musik. Ia punya selera tinggi dalam hal itu, ia suka mendengarkan beragam musik, terutama genre metal dan punk. Baginya kedua genre musik tersebut mempunyai kasta yang paling tinggi karena liriknya bercerita tentang hal-hal sosial, menceritakan kehidupan manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhan. Ia juga perempuan yang memiliki keberanian, ia tak ragu untuk berkata “tidak” pada sejumlah laki-laki yang hanya menginginkan tubuhnya. Ia bukan siperagu atau perempuan sendu yang menitikkan air mata ketika hujan tiba dalam lamunan melankolis.
Dan, banyak temannya yang berkata, kalau ia adalah perempuan feminis. Punya harga diri yang tinggi dan tidak ingin terlihat lemah dimata laki-laki. Lantas jika teman-temannya sudah berkata demikian, tak jarang ia akan meladeni perkataan itu sambil tertawa “Bukankah kita memang ditakdirkan untuk punya harga diri oleh Tuhan. Menjadi kuat untuk hal-hal yang harusnya diperjuangkan dalam hidup, bukankah itu suatu keharusan?” Maka biasanya teman-temannya akan langsung menanggapi omongannya dengan sebutan ‘Perempuan lupa diri’. Dan, biasanya juga ia hanya membalasnya dengan tertawa terbahak-bahak.
Namun sejujurnya, ia termasuk perempuan yang cantik, hanya saja ia enggan menjadi cantik. Ada istilah yang membuatnya begitu geli ketika mendengarkan celoteh temannya berlanjut “Kamu tidak menghargai pemberian Tuhan. Padahal, kamu punya sepasang mata yang bulat - sendu, berwajah oval dengan bibir mungil dibalut rambut panjang berwarna hitam. Dan, kamu menolak hal itu semua.”
Begitu menggelikan pikirnya, sampai-sampai ia bosan untuk sekadar menyisir rambut atau menggosok pakaiannya dengan setrika agar terlihat rapih. Dan, baginya semua ucapan temannya itu hanya utopis. “Mengapa harus menuruti keingin orang lain? Bukankah yang menggerakkan tubuh ini adalah diri sendiri? Bukankah yang menjalani hidup ini adalah diri sendiri pula?” pikir perempuan itu dengan hati kesal.
Namun kini, tabiatnya menjadi ‘perempuan lupa diri’ semakin luntur. Seminggu yang lalu ibunya dari kampung datang ke apartment-nya menanyakan kabar dirinya dan berceloteh panjang lebar sembari menasihatinya agar lekas menemukan pendamping hidup dan merencanakan pernikahan.
“Usiamu sudah berapa, ndok! Ayolah ndok, segera cari laki-laki yang baik. Memangnya selama ini tidak ada laki-laki yang dekat sama kamu?”
“Ya, Bu. Aku memang belum nemu jodoh yang tepat aja, kok. Nanti setelah aku dapat laki-laki yang beruntung itu, pasti akan aku kenalkan kepada Ibu.”

Ibunya begitu gusar seperti komandan batalion yang harus segera menentukan kapan mengepung markas musuh sebelum persembunyiannya terungkap. Dan kini, ibunya hampir membuatnya gila. Pada awalnya ibunya hanya akan menginap sekitar satu minggu, tapi sudah hampir dua bulan lamanya ibunya tak kunjung pulang.
“Lantas kapan to, ndok? Ibu sudah bosan, Ibu tidak melihat dalam waktu dekat kamu akan segera punya pendamping. Ibu rasa yang membuatmu lama menikah adalah gaya busanamu itu. Coba gaya dandananmu itu diubah. Jangan kayak laki-laki gitu, lah. Kamu kok tomboi banget, sih. Mana ada laki-laki yang mau lirik kalau kamu begitu.”
“Iya, bu...”
“Ya, ibu rasa, ibu perlu membantumu dalam urusan ini. Kamu tahu, nak! Dulu waktu usia ibu 20 tahun, laki-laki sudah banyak yang mengantre untuk mempersunting ibu menjadi istri. Sedangkan kamu? Coba lihat?”
“Ya, bu... aku tahu ibu lebih pandai bersolek dibanding aku.”

Dan perempuan itu kini cemas, ibunya pun tak kalah cemas.  Kini sang ibu menuntutnya untuk berdandan selayaknya perempuan. Ibunya membelikannya beragam model blus dan rok pendek yang tak jarang membuatnya risih ketika menggunakannya. Belum lagi ia diharuskan memakai ginju merah menyala yang ketika kali pertama orang lihat, mungkin akan berpikir dirinya seperti wanita malam yang menunggu pelanggan datang. Ia sebenarnya marah, ia menganggap apa yang dilakukan ibunya itu seperti membuatnya terlihat bodoh. Seakan-akan membuat dirinya menjadi ‘badut sosial’.
Ia pun terpaksa mengelus dada agar tetap punya kesabaran untuk menghadapi kelakuan ibunya itu. Namun, ia tetap saja ingin menjadi perempuan yang punya harga diri tinggi. Baginya menyuruh dirinya menikah tak ubahnya memaksa seekor burung untuk berkokok seperti ayam.
Satu bulan kemudian, setelah 3 bulan ibunya hinggap di apartemen miliknya. Akhirnya seorang laki-laki mengajaknya untuk menikah. Dan karena dorongan dari sang ibu yang teramat kuat agar menyetujui lamaran laki-laki itu, ia memutuskan untuk menikah. Perempuan itu tampak gembira, tapi ia masih skeptis dengan pernikahan, apa yang akan terjadi setelah ini, dan mampukah ia menjadi seorang istri yang sama dengan kebanyakan orang lain lakukan.
Dan sejujurnya, kalau saja ia tak dengan sengaja menyerahkan keperawanannya kepada seorang laki-laki yang akan menikahinya itu, mungkin saja tak ada habisnya ia diceramahi hingga keliang lahat oleh sang ibu. Maka tak ada salahnya jika perempuan itu membiarkan dirinya untuk menikah dengan laki-laki yang sebetulnya ia tidak pernah tahu apakah laki-laki itu mencintainya, atau tidak. Yang jelas, perempuan itu lebih mencintai dirinya sendiri.
Dan kini, perempuan itu membaringkan tubuhnya pada kursi goyang di beranda rumah, di antara beberapa botol-botol minuman di atas meja, dan beberapa puntung rokok yang telah habis ia hisap. Telinganya tengah asik mendengarkan sebuah lagu dari band kenamaan yang saat ini digandrungi banyak orang. Berharap lagu itu setidaknya membuat ia mampu tidur dan melupakan masalah remeh bahwa ia seorang istri. Sementara suaminya sedang sibuk pergi bekerja dan sanggup tak pulang hingga akhir pekan tiba.
Sudah hampir satu tahun lamanya perempuan itu menjadi istri. Namun, sudah selama itu pula suaminya hanya bersetubuh dengannya satu kali. Perempuan itu selalu berkata kepada suaminya agar tak mengajak bercinta ketika moodnya sedang tidak bagus. Ia benci bercinta hanya karena alasan ia adalah seorang istri dari seorang laki-laki. Maka tak jarang suaminya mengeluh lembut kepadanya agar diberikan izin untuk menidurinya sewaktu-waktu. Namun perempuan itu tetap menjunjung keras kepalanya. Ia hanya berpesan kepada suaminya,
“Buatlah aku percaya bahwa kau adalah laki-laki yang pantas aku nikahi.

Belum lagi dialog teoritisnya sudah hampir membuat suaminya itu gila dan merasa bodoh karena tak mampu membuat perempuan itu bertekuk lutut.
“Bersabarlah, sayang. Aku hanya sedang mengujimu. Bukankah dahulu kau telah mencicipi tubuhku sebelum kita resmi menikah? Ya, kali ini kau harus membayar hadiah tanpa usahamu itu.” ucap perempuan itu dengan nada datar.
“Aku bingung dengan maksudmu? Apa yang mesti aku lakukan untuk membuatmu berpikir bahwa kau adalah istriku, dan sudah sewajarnya juga jika aku menuntutmu bertingkah selayaknya seorang istri!” balas suaminya dengan nada semakin tinggi.
“Ya, aku memang istrimu, ya kita memang sepasang suami-istri, tapi bukan berarti aku harus menuruti semua maumu, bukan? Bukankah status sosial kita di mata Tuhan sama? Buatlah aku percaya kau memang pilihan yang tepat.”
“Sudahlah, pembicaraan ini semakin membuatku bosan.” jawab suaminya itu.
“Ya... bahkan ku lihat, kau saja tak mampu menjawab pertanyaan dan penyataanku itu. “Bagaimana bisa kau membuat moodku bagus untuk mengajakku bercinta. Hal remeh itu saja tak mampu kau balas dengan kata-kata yang baik dan bijak sebagai suami. Bagaimana bisa kau menuntunku menjadi istri yang baik?”
Bullshit!!! Aku sudah muak dengan gaya teoritismu itu. Berhentilah mengajakku berdebat. Kau tahu, ibuku sudah mengidamkan seorang cucu dari rahimmu itu!”
“Pergilah bercinta dengan wanita lain kalau gitu, jika pada dasarnya kau dan keluargamu itu hanya menginginkan keturunan, menginginkan anak dari hubungan pernikahan. Maaf, aku bukan hewan, tugasku bukan sekadar meneruskan keturunan manusia.”

Semakin banyak pertengkaran yang melanda perempuan itu. Dan, perempuan itu tampaknya semakin senang menjalaninya. Beberapa tetangga bermulut besar dengan usilnya juga terus membicarakan mereka, membicarakan bagaimana perempuan itu selalu enggan disetubuhi oleh suaminya sendiri.
“Untung ibuku telah bahagia di sana, melihatku sudah menikah rasanya sudah cukup. Maka sepertinya tugasku sebagai anak dalam perayaan kematian ibu telah selesai.”

Perempuan itu kemudian teringat akan keinginan masa lalunya menato bagian tubuh intimnya dengan tulisan “No Enter”, lalu kembali lupa menata rambut dan merapihkan pakaiannya.

2015



3 komentar: