Laman

Kamis, 14 Mei 2015

Di Kotaku

Di kotaku, anak-anak muda beranak pinak, menanggung beban kemalasan orang tuanya.
Di kotaku, anak muda mengangkangi Ibu dan Bapaknya, mengagahi mereka dalam moral ‘sampah’, lalu mengecup kening pembebasan dan menamainya dengan sebutan ‘jiwa muda’.
Di kotaku, anak muda berlari-lari, mengejar makna pendidikan, dan mendapatinya dalam kuburan.
Di kotaku, anak muda bercerita dengan nasib melalui elegi, menulisnya lewat novel dan membayarnya dengan air mata.
Di kotaku, anak muda membakar ban, memenuhi jalan-jalan dengan suara bising, menumpahkan amarah, memaki, dan berkhotbah.
Di kotaku, cinta anak muda begitu mudah didapat, cukup membayar tiga ratus ribu, kau akan dapat kan cinta seorang anak muda belia, ia tertawa, cantik, berdandan dengan gincu yang tebal, dan mengakhirinya dengan menyeka air mata.
Di kotaku, anak muda menuhankan cinta, membasuhnya lewat kata sayang, mengecup kening, saling memandang, menindih-nindih, melenguh nyaring seperti binatang, dan mengakhirinya dengan janji “aku akan menikahimu.” Janji-janji ‘taik’ di ucapkan seperti permen yang selalu manis.

Tak ada kesedihan, karena ini sebuah kota.

2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar