Di kotaku, anak-anak muda beranak pinak,
menanggung beban kemalasan orang tuanya.
Di kotaku, anak muda mengangkangi Ibu
dan Bapaknya, mengagahi mereka dalam moral ‘sampah’, lalu mengecup kening
pembebasan dan menamainya dengan sebutan ‘jiwa muda’.
Di kotaku, anak muda berlari-lari,
mengejar makna pendidikan, dan mendapatinya dalam kuburan.
Di kotaku, anak muda bercerita dengan
nasib melalui elegi, menulisnya lewat novel dan membayarnya dengan air mata.
Di kotaku, anak muda membakar ban,
memenuhi jalan-jalan dengan suara bising, menumpahkan amarah, memaki, dan
berkhotbah.
Di kotaku, cinta anak muda begitu mudah
didapat, cukup membayar tiga ratus ribu, kau akan dapat kan cinta seorang anak
muda belia, ia tertawa, cantik, berdandan dengan gincu yang tebal, dan
mengakhirinya dengan menyeka air mata.
Di kotaku, anak muda menuhankan cinta,
membasuhnya lewat kata sayang, mengecup kening, saling memandang,
menindih-nindih, melenguh nyaring seperti binatang, dan mengakhirinya dengan
janji “aku akan menikahimu.” Janji-janji ‘taik’ di ucapkan seperti permen yang
selalu manis.
Tak ada kesedihan, karena ini sebuah
kota.
2014
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar