“Aku
tak pernah berharap menjadi perempuan yang
kisah hidupnya akan begitu mudah ditulis oleh laki-laki dalam cerita pendek dan
digantikan maknanya dengan uang.” ucap perempuan itu.
Ia muak dengan hidup. Hidup
sebagai perempuan seakan memaksanya menjadi orang yang harus tersenyum manis,
lalu berkata kepada dunia “Hai dunia! Aku perempuan! Aku dilahirkan untuk
mewarnai dunia dan tugas utamaku adalah membantu urusan duniawi para lelaki
agar manusia tak lekas punah.”
Dan, ia cukup kesal dengan anggapan
orang bahwa pekerjaan perempuan itu mudah, cukup bersolek, belanja, mengurus
pekerjaan rumah tangga, dan mengangkangkan kaki ketika di atas ranjang.
Nyatanya, menjadi perempuan
mengharuskan untuk bisa mengerti orang lain, memaksa diri untuk terus tersenyum
ketika berjumpa orang lain, tapi tak jarang segan memberi peluang untuk
menghela napas kepada diri sendiri. Belum lagi perempuan harus menstruasi
setiap bulan, mengernyitkan kening bahkan marah karena tabiat pedoman wajib orangtua
kepada anak gadisnya untuk menyuruhnya segera menikah sebelum menginjak kepala
tiga.
Ia sendiri bukanlah seorang
perempuan yang menginginkan dogma-dogma itu datang kepadanya. Bayangkan saja,
betapa menyedihkan menjadi perempuan yang harus menyerahkan masa depannya
kepada penantian dan rasa malu karena lama mendapatkan pendamping hidup. Ah,
membosankan sekali sepertinya harus memikirkan urusan remeh-temeh itu. Tak
jarang, ia juga dibuat kesal oleh perilaku teman-temannya sendiri yang baru
menginjak usia 30 tahun, dan merasa terancam hak hidupnya karena cap ‘Perawan
Tua’. “Bodohnya.” Pikir perempuan itu.
Ia semakin tak mengerti bagaimana
bisa hal-hal seperti itu merenggut kebahagiaan para perempuan. Bukankah masih
banyak hal-hal yang sebaiknya mereka pikirkan atau kerjakan, daripada
mengharuskan diri mereka terjebak kepada masalah omong kosong itu. Dan, tak ada
yang membuktikan dengan benar bahwa menikah lama menandakan ketidak
bahagiaannya diri seseorang atau menikah muda menandakan seseorang itu sudah
mencapai tingkat kebahagiaan yang tertinggi dalam hidup. “Bullshit.” ucap perempuan itu.
Perempuan itu memang tak pandai
bersolek untuk menjadi bunga. Ia tak memiliki kecakapan untuk membuat para
laki-laki meliriknya, memperhatikannya, sekadar bertegur sapa menanyakan
kabarnya pada pagi hari, atau menanyakan hal-hal apa saja yang ia lakukan di
malam hari menjelang tidur. Ia memang seorang perempuan, dan kini ia ingin berhenti
menjadi perempuan.
Seperti yang sudah ia jelaskan, ia
seorang perempuan dengan beragam hal yang tidak spesial. Begitu banyak
penolakan-penolakan yang tak pernah ia berikan sebelumnya untuk diterima oleh
laki-laki. Ia bukanlah perempuan yang sengaja membuat rendah harkat dan
martabatnya sendiri, memakai pakaian minim agar lekuk tubuhnya terlihat jelas,
sampai-sampai puting susunya sendiri tercetak jelas dari pakaiannya. Ia adalah
perempuan pintar yang tak mencari perhatian dengan cara menipu diri. Ia suka
menceritakan hal-hal tabu, merayakan kegusaran, dan mencibir perayaan politik
negerinya.
Maka tentu saja ia tak punya
selera untuk bersolek. Ia perempuan yang
tak mengeluh ketika berdiri di antara panas dan dingin. Tak pusing memikirkan
sepatunya akan basah, bahkan make-up
yang luntur ketika hujan tiba. Ia suka mendengarkan musik. Ia punya selera
tinggi dalam hal itu, ia suka mendengarkan beragam musik, terutama genre metal
dan punk. Baginya kedua genre musik tersebut mempunyai kasta yang paling tinggi
karena liriknya bercerita tentang hal-hal sosial, menceritakan kehidupan
manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhan. Ia juga perempuan yang
memiliki keberanian, ia tak ragu untuk berkata “tidak” pada sejumlah laki-laki
yang hanya menginginkan tubuhnya. Ia bukan siperagu atau perempuan sendu yang
menitikkan air mata ketika hujan tiba dalam lamunan melankolis.
Dan, banyak temannya yang berkata,
kalau ia adalah perempuan feminis. Punya harga diri yang tinggi dan tidak ingin
terlihat lemah dimata laki-laki. Lantas jika teman-temannya sudah berkata
demikian, tak jarang ia akan meladeni perkataan itu sambil tertawa “Bukankah
kita memang ditakdirkan untuk punya harga diri oleh Tuhan. Menjadi kuat untuk
hal-hal yang harusnya diperjuangkan dalam hidup, bukankah itu suatu keharusan?”
Maka biasanya teman-temannya akan langsung menanggapi omongannya dengan sebutan
‘Perempuan lupa diri’. Dan, biasanya juga ia hanya membalasnya dengan tertawa
terbahak-bahak.
Namun sejujurnya, ia termasuk
perempuan yang cantik, hanya saja ia enggan menjadi cantik. Ada istilah yang
membuatnya begitu geli ketika mendengarkan celoteh temannya berlanjut “Kamu
tidak menghargai pemberian Tuhan. Padahal, kamu punya sepasang mata yang bulat
- sendu, berwajah oval dengan bibir mungil dibalut rambut panjang berwarna
hitam. Dan, kamu menolak hal itu semua.”
Begitu menggelikan pikirnya,
sampai-sampai ia bosan untuk sekadar menyisir rambut atau menggosok pakaiannya
dengan setrika agar terlihat rapih. Dan, baginya semua ucapan temannya itu
hanya utopis. “Mengapa harus menuruti keingin orang lain? Bukankah yang
menggerakkan tubuh ini adalah diri sendiri? Bukankah yang menjalani hidup ini
adalah diri sendiri pula?” pikir perempuan itu dengan hati kesal.
Namun kini, tabiatnya menjadi ‘perempuan
lupa diri’ semakin luntur. Seminggu yang lalu ibunya dari kampung datang ke apartment-nya menanyakan kabar dirinya
dan berceloteh panjang lebar sembari menasihatinya agar lekas menemukan
pendamping hidup dan merencanakan pernikahan.
“Usiamu sudah berapa, ndok!
Ayolah ndok, segera cari laki-laki yang baik. Memangnya selama ini tidak ada
laki-laki yang dekat sama kamu?”
“Ya, Bu. Aku memang belum nemu
jodoh yang tepat aja, kok. Nanti setelah aku dapat laki-laki yang beruntung
itu, pasti akan aku kenalkan kepada Ibu.”
Ibunya begitu gusar seperti komandan
batalion yang harus segera menentukan kapan mengepung markas musuh sebelum
persembunyiannya terungkap. Dan kini, ibunya hampir membuatnya gila. Pada
awalnya ibunya hanya akan menginap sekitar satu minggu, tapi sudah hampir dua
bulan lamanya ibunya tak kunjung pulang.
“Lantas kapan to, ndok? Ibu sudah
bosan, Ibu tidak melihat dalam waktu dekat kamu akan segera punya pendamping. Ibu
rasa yang membuatmu lama menikah adalah gaya busanamu itu. Coba gaya dandananmu
itu diubah. Jangan kayak laki-laki gitu, lah. Kamu kok tomboi banget, sih. Mana
ada laki-laki yang mau lirik kalau kamu begitu.”
“Iya, bu...”
“Ya, ibu rasa, ibu perlu
membantumu dalam urusan ini. Kamu tahu, nak! Dulu waktu usia ibu 20 tahun,
laki-laki sudah banyak yang mengantre untuk mempersunting ibu menjadi istri.
Sedangkan kamu? Coba lihat?”
“Ya, bu... aku tahu ibu lebih
pandai bersolek dibanding aku.”
Dan perempuan itu kini cemas, ibunya
pun tak kalah cemas. Kini sang ibu menuntutnya
untuk berdandan selayaknya perempuan. Ibunya membelikannya beragam model blus
dan rok pendek yang tak jarang membuatnya risih ketika menggunakannya. Belum
lagi ia diharuskan memakai ginju merah menyala yang ketika kali pertama orang lihat,
mungkin akan berpikir dirinya seperti wanita malam yang menunggu pelanggan
datang. Ia sebenarnya marah, ia menganggap apa yang dilakukan ibunya itu
seperti membuatnya terlihat bodoh. Seakan-akan membuat dirinya menjadi ‘badut
sosial’.
Ia pun terpaksa mengelus dada
agar tetap punya kesabaran untuk menghadapi kelakuan ibunya itu. Namun, ia
tetap saja ingin menjadi perempuan yang punya harga diri tinggi. Baginya
menyuruh dirinya menikah tak ubahnya memaksa seekor burung untuk berkokok
seperti ayam.
Satu bulan kemudian, setelah 3
bulan ibunya hinggap di apartemen miliknya. Akhirnya seorang laki-laki
mengajaknya untuk menikah. Dan karena dorongan dari sang ibu yang teramat kuat agar
menyetujui lamaran laki-laki itu, ia memutuskan untuk menikah. Perempuan itu tampak
gembira, tapi ia masih skeptis dengan pernikahan, apa yang akan terjadi setelah
ini, dan mampukah ia menjadi seorang istri yang sama dengan kebanyakan orang
lain lakukan.
Dan sejujurnya, kalau saja ia tak
dengan sengaja menyerahkan keperawanannya kepada seorang laki-laki yang akan
menikahinya itu, mungkin saja tak ada habisnya ia diceramahi hingga keliang
lahat oleh sang ibu. Maka tak ada salahnya jika perempuan itu membiarkan
dirinya untuk menikah dengan laki-laki yang sebetulnya ia tidak pernah tahu
apakah laki-laki itu mencintainya, atau tidak. Yang jelas, perempuan itu lebih
mencintai dirinya sendiri.
Dan kini, perempuan itu
membaringkan tubuhnya pada kursi goyang di beranda rumah, di antara beberapa
botol-botol minuman di atas meja, dan beberapa puntung rokok yang telah habis
ia hisap. Telinganya tengah asik mendengarkan sebuah lagu dari band kenamaan
yang saat ini digandrungi banyak orang. Berharap lagu itu setidaknya membuat ia
mampu tidur dan melupakan masalah remeh bahwa ia seorang istri. Sementara
suaminya sedang sibuk pergi bekerja dan sanggup tak pulang hingga akhir pekan
tiba.
Sudah hampir satu tahun lamanya
perempuan itu menjadi istri. Namun, sudah selama itu pula suaminya hanya
bersetubuh dengannya satu kali. Perempuan itu selalu berkata kepada suaminya
agar tak mengajak bercinta ketika moodnya sedang tidak bagus. Ia benci bercinta
hanya karena alasan ia adalah seorang istri dari seorang laki-laki. Maka tak
jarang suaminya mengeluh lembut kepadanya agar diberikan izin untuk menidurinya
sewaktu-waktu. Namun perempuan itu tetap menjunjung keras kepalanya. Ia hanya
berpesan kepada suaminya,
“Buatlah aku percaya bahwa kau
adalah laki-laki yang pantas aku nikahi.
Belum lagi dialog teoritisnya
sudah hampir membuat suaminya itu gila dan merasa bodoh karena tak mampu
membuat perempuan itu bertekuk lutut.
“Bersabarlah, sayang. Aku hanya
sedang mengujimu. Bukankah dahulu kau telah mencicipi tubuhku sebelum kita
resmi menikah? Ya, kali ini kau harus membayar hadiah tanpa usahamu itu.” ucap
perempuan itu dengan nada datar.
“Aku bingung dengan maksudmu? Apa
yang mesti aku lakukan untuk membuatmu berpikir bahwa kau adalah istriku, dan
sudah sewajarnya juga jika aku menuntutmu bertingkah selayaknya seorang istri!”
balas suaminya dengan nada semakin tinggi.
“Ya, aku memang istrimu, ya kita
memang sepasang suami-istri, tapi bukan berarti aku harus menuruti semua maumu,
bukan? Bukankah status sosial kita di mata Tuhan sama? Buatlah aku percaya kau memang
pilihan yang tepat.”
“Sudahlah, pembicaraan ini
semakin membuatku bosan.” jawab suaminya itu.
“Ya... bahkan ku lihat, kau saja
tak mampu menjawab pertanyaan dan penyataanku itu. “Bagaimana bisa kau membuat moodku bagus untuk mengajakku bercinta.
Hal remeh itu saja tak mampu kau balas dengan kata-kata yang baik dan bijak
sebagai suami. Bagaimana bisa kau menuntunku menjadi istri yang baik?”
“Bullshit!!! Aku sudah muak dengan gaya teoritismu itu. Berhentilah
mengajakku berdebat. Kau tahu, ibuku sudah mengidamkan seorang cucu dari
rahimmu itu!”
“Pergilah bercinta dengan wanita
lain kalau gitu, jika pada dasarnya kau dan keluargamu itu hanya menginginkan
keturunan, menginginkan anak dari hubungan pernikahan. Maaf, aku bukan hewan,
tugasku bukan sekadar meneruskan keturunan manusia.”
Semakin banyak pertengkaran yang
melanda perempuan itu. Dan, perempuan itu tampaknya semakin senang
menjalaninya. Beberapa tetangga bermulut besar dengan usilnya juga terus
membicarakan mereka, membicarakan bagaimana perempuan itu selalu enggan
disetubuhi oleh suaminya sendiri.
“Untung ibuku telah bahagia di
sana, melihatku sudah menikah rasanya sudah cukup. Maka sepertinya tugasku
sebagai anak dalam perayaan kematian ibu telah selesai.”
Perempuan itu kemudian teringat
akan keinginan masa lalunya menato bagian tubuh intimnya dengan tulisan “No Enter”, lalu kembali lupa menata
rambut dan merapihkan pakaiannya.
2015