Laman

Jumat, 15 Mei 2015

Wanita Keledai

Pacarku sedang meninggal dunia
Ia terbaring di liang lahat yang pengap dan sumpek
Pernah suatu ketika ia datang menemuiku, lalu berpesan agar dibelikan AC untuk kuburannya
Katanya “Di sini panas dan pengap, aku butuh udara sejuk. Terlebih para malaikat itu datang hanya untuk membuat aku lelah akan pertanyaan-pertanyaan bodohnya.” 

Pacarku yang tampan dan rupawan memang selalu meminta lebih dariku
Otaknya memang dungu
Meski sudah mati selalu berpikir seperti orang hidup
Suka berjanji dan mengarang bebas

Tapi dia masih tetap setia menemaniku
Wajahnya yang rupawan dan tingkah anjingnya juga masih setia aku lumat dihari-hariku dengan kebohongannya

Aku pun, tak merasa segan jika tubuhku rusak karena air mata
Biarlah orang berpikir bodoh tentangku
Toh, aku masih setia masuk ke lubang yang sama

Tepat hari ini, sebenarnya ia berulang tahun
Lantas, aku berinisiatif merayakan dengan seember air mata untuknya

Tapi ia hanya meninggalkan pesan “Wahai bajingan, sudah berapa air mata yang kau berikan padaku? Kau lihat! Semakin kau menangisiku, malaikat suruhan Tuhan ini makin keras mencambukku. Berhentilah menangis untukku. Aku benci untuk ditangisi masa lalu!”

2015

Kamis, 14 Mei 2015

Celoteh

Akhirnya kegundahan itu muncul, bahkan menjadi sebuah kenyataan. ketika ibu kota ini telah menelan jutaan orang untuk hidup di sana, akhirnya jakarta memuntahkan isi kepenatannya. Jakarta mungkin dimasa datang akan hilang seiring berlalunya hari. Jakarta begitu pelik dengan masalah yang semakin menggunung. Dilema kondisi jakarta terus bergulir di berbagai media sosial. Kini Jakarta mulai terpogoh-pogoh untuk kembali menerangi sinar megapolitannya. Tengok, ketika erosi moral merambah ibu kota ini dan menghancurkan sebagian isi di dalamnya, seakan menoreh garis di pelipis wajah. Jakarta bagai seorang primadona ber make-up tebal, dibumbui tata rias nan anggun, tapi hanya berparas topeng belaka. 

Aku Perempuan dan Aku Benci Menangis

 “Aku tak pernah berharap menjadi  perempuan yang kisah hidupnya akan begitu mudah ditulis oleh laki-laki dalam cerita pendek dan digantikan maknanya dengan uang.” ucap perempuan itu.

Ia muak dengan hidup. Hidup sebagai perempuan seakan memaksanya menjadi orang yang harus tersenyum manis, lalu berkata kepada dunia “Hai dunia! Aku perempuan! Aku dilahirkan untuk mewarnai dunia dan tugas utamaku adalah membantu urusan duniawi para lelaki agar manusia tak lekas punah.”
Dan, ia cukup kesal dengan anggapan orang bahwa pekerjaan perempuan itu mudah, cukup bersolek, belanja, mengurus pekerjaan rumah tangga, dan mengangkangkan kaki ketika di atas ranjang.
Nyatanya, menjadi perempuan mengharuskan untuk bisa mengerti orang lain, memaksa diri untuk terus tersenyum ketika berjumpa orang lain, tapi tak jarang segan memberi peluang untuk menghela napas kepada diri sendiri. Belum lagi perempuan harus menstruasi setiap bulan, mengernyitkan kening bahkan marah karena tabiat pedoman wajib orangtua kepada anak gadisnya untuk menyuruhnya segera menikah sebelum menginjak kepala tiga.
Ia sendiri bukanlah seorang perempuan yang menginginkan dogma-dogma itu datang kepadanya. Bayangkan saja, betapa menyedihkan menjadi perempuan yang harus menyerahkan masa depannya kepada penantian dan rasa malu karena lama mendapatkan pendamping hidup. Ah, membosankan sekali sepertinya harus memikirkan urusan remeh-temeh itu. Tak jarang, ia juga dibuat kesal oleh perilaku teman-temannya sendiri yang baru menginjak usia 30 tahun, dan merasa terancam hak hidupnya karena cap ‘Perawan Tua’. “Bodohnya.” Pikir perempuan itu.
Ia semakin tak mengerti bagaimana bisa hal-hal seperti itu merenggut kebahagiaan para perempuan. Bukankah masih banyak hal-hal yang sebaiknya mereka pikirkan atau kerjakan, daripada mengharuskan diri mereka terjebak kepada masalah omong kosong itu. Dan, tak ada yang membuktikan dengan benar bahwa menikah lama menandakan ketidak bahagiaannya diri seseorang atau menikah muda menandakan seseorang itu sudah mencapai tingkat kebahagiaan yang tertinggi dalam hidup. “Bullshit.” ucap perempuan itu.
Perempuan itu memang tak pandai bersolek untuk menjadi bunga. Ia tak memiliki kecakapan untuk membuat para laki-laki meliriknya, memperhatikannya, sekadar bertegur sapa menanyakan kabarnya pada pagi hari, atau menanyakan hal-hal apa saja yang ia lakukan di malam hari menjelang tidur. Ia memang seorang perempuan, dan kini ia ingin berhenti menjadi perempuan.
Seperti yang sudah ia jelaskan, ia seorang perempuan dengan beragam hal yang tidak spesial. Begitu banyak penolakan-penolakan yang tak pernah ia berikan sebelumnya untuk diterima oleh laki-laki. Ia bukanlah perempuan yang sengaja membuat rendah harkat dan martabatnya sendiri, memakai pakaian minim agar lekuk tubuhnya terlihat jelas, sampai-sampai puting susunya sendiri tercetak jelas dari pakaiannya. Ia adalah perempuan pintar yang tak mencari perhatian dengan cara menipu diri. Ia suka menceritakan hal-hal tabu, merayakan kegusaran, dan mencibir perayaan politik negerinya.
Maka tentu saja ia tak punya selera untuk bersolek. Ia perempuan  yang tak mengeluh ketika berdiri di antara panas dan dingin. Tak pusing memikirkan sepatunya akan basah, bahkan make-up yang luntur ketika hujan tiba. Ia suka mendengarkan musik. Ia punya selera tinggi dalam hal itu, ia suka mendengarkan beragam musik, terutama genre metal dan punk. Baginya kedua genre musik tersebut mempunyai kasta yang paling tinggi karena liriknya bercerita tentang hal-hal sosial, menceritakan kehidupan manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhan. Ia juga perempuan yang memiliki keberanian, ia tak ragu untuk berkata “tidak” pada sejumlah laki-laki yang hanya menginginkan tubuhnya. Ia bukan siperagu atau perempuan sendu yang menitikkan air mata ketika hujan tiba dalam lamunan melankolis.
Dan, banyak temannya yang berkata, kalau ia adalah perempuan feminis. Punya harga diri yang tinggi dan tidak ingin terlihat lemah dimata laki-laki. Lantas jika teman-temannya sudah berkata demikian, tak jarang ia akan meladeni perkataan itu sambil tertawa “Bukankah kita memang ditakdirkan untuk punya harga diri oleh Tuhan. Menjadi kuat untuk hal-hal yang harusnya diperjuangkan dalam hidup, bukankah itu suatu keharusan?” Maka biasanya teman-temannya akan langsung menanggapi omongannya dengan sebutan ‘Perempuan lupa diri’. Dan, biasanya juga ia hanya membalasnya dengan tertawa terbahak-bahak.
Namun sejujurnya, ia termasuk perempuan yang cantik, hanya saja ia enggan menjadi cantik. Ada istilah yang membuatnya begitu geli ketika mendengarkan celoteh temannya berlanjut “Kamu tidak menghargai pemberian Tuhan. Padahal, kamu punya sepasang mata yang bulat - sendu, berwajah oval dengan bibir mungil dibalut rambut panjang berwarna hitam. Dan, kamu menolak hal itu semua.”
Begitu menggelikan pikirnya, sampai-sampai ia bosan untuk sekadar menyisir rambut atau menggosok pakaiannya dengan setrika agar terlihat rapih. Dan, baginya semua ucapan temannya itu hanya utopis. “Mengapa harus menuruti keingin orang lain? Bukankah yang menggerakkan tubuh ini adalah diri sendiri? Bukankah yang menjalani hidup ini adalah diri sendiri pula?” pikir perempuan itu dengan hati kesal.
Namun kini, tabiatnya menjadi ‘perempuan lupa diri’ semakin luntur. Seminggu yang lalu ibunya dari kampung datang ke apartment-nya menanyakan kabar dirinya dan berceloteh panjang lebar sembari menasihatinya agar lekas menemukan pendamping hidup dan merencanakan pernikahan.
“Usiamu sudah berapa, ndok! Ayolah ndok, segera cari laki-laki yang baik. Memangnya selama ini tidak ada laki-laki yang dekat sama kamu?”
“Ya, Bu. Aku memang belum nemu jodoh yang tepat aja, kok. Nanti setelah aku dapat laki-laki yang beruntung itu, pasti akan aku kenalkan kepada Ibu.”

Ibunya begitu gusar seperti komandan batalion yang harus segera menentukan kapan mengepung markas musuh sebelum persembunyiannya terungkap. Dan kini, ibunya hampir membuatnya gila. Pada awalnya ibunya hanya akan menginap sekitar satu minggu, tapi sudah hampir dua bulan lamanya ibunya tak kunjung pulang.
“Lantas kapan to, ndok? Ibu sudah bosan, Ibu tidak melihat dalam waktu dekat kamu akan segera punya pendamping. Ibu rasa yang membuatmu lama menikah adalah gaya busanamu itu. Coba gaya dandananmu itu diubah. Jangan kayak laki-laki gitu, lah. Kamu kok tomboi banget, sih. Mana ada laki-laki yang mau lirik kalau kamu begitu.”
“Iya, bu...”
“Ya, ibu rasa, ibu perlu membantumu dalam urusan ini. Kamu tahu, nak! Dulu waktu usia ibu 20 tahun, laki-laki sudah banyak yang mengantre untuk mempersunting ibu menjadi istri. Sedangkan kamu? Coba lihat?”
“Ya, bu... aku tahu ibu lebih pandai bersolek dibanding aku.”

Dan perempuan itu kini cemas, ibunya pun tak kalah cemas.  Kini sang ibu menuntutnya untuk berdandan selayaknya perempuan. Ibunya membelikannya beragam model blus dan rok pendek yang tak jarang membuatnya risih ketika menggunakannya. Belum lagi ia diharuskan memakai ginju merah menyala yang ketika kali pertama orang lihat, mungkin akan berpikir dirinya seperti wanita malam yang menunggu pelanggan datang. Ia sebenarnya marah, ia menganggap apa yang dilakukan ibunya itu seperti membuatnya terlihat bodoh. Seakan-akan membuat dirinya menjadi ‘badut sosial’.
Ia pun terpaksa mengelus dada agar tetap punya kesabaran untuk menghadapi kelakuan ibunya itu. Namun, ia tetap saja ingin menjadi perempuan yang punya harga diri tinggi. Baginya menyuruh dirinya menikah tak ubahnya memaksa seekor burung untuk berkokok seperti ayam.
Satu bulan kemudian, setelah 3 bulan ibunya hinggap di apartemen miliknya. Akhirnya seorang laki-laki mengajaknya untuk menikah. Dan karena dorongan dari sang ibu yang teramat kuat agar menyetujui lamaran laki-laki itu, ia memutuskan untuk menikah. Perempuan itu tampak gembira, tapi ia masih skeptis dengan pernikahan, apa yang akan terjadi setelah ini, dan mampukah ia menjadi seorang istri yang sama dengan kebanyakan orang lain lakukan.
Dan sejujurnya, kalau saja ia tak dengan sengaja menyerahkan keperawanannya kepada seorang laki-laki yang akan menikahinya itu, mungkin saja tak ada habisnya ia diceramahi hingga keliang lahat oleh sang ibu. Maka tak ada salahnya jika perempuan itu membiarkan dirinya untuk menikah dengan laki-laki yang sebetulnya ia tidak pernah tahu apakah laki-laki itu mencintainya, atau tidak. Yang jelas, perempuan itu lebih mencintai dirinya sendiri.
Dan kini, perempuan itu membaringkan tubuhnya pada kursi goyang di beranda rumah, di antara beberapa botol-botol minuman di atas meja, dan beberapa puntung rokok yang telah habis ia hisap. Telinganya tengah asik mendengarkan sebuah lagu dari band kenamaan yang saat ini digandrungi banyak orang. Berharap lagu itu setidaknya membuat ia mampu tidur dan melupakan masalah remeh bahwa ia seorang istri. Sementara suaminya sedang sibuk pergi bekerja dan sanggup tak pulang hingga akhir pekan tiba.
Sudah hampir satu tahun lamanya perempuan itu menjadi istri. Namun, sudah selama itu pula suaminya hanya bersetubuh dengannya satu kali. Perempuan itu selalu berkata kepada suaminya agar tak mengajak bercinta ketika moodnya sedang tidak bagus. Ia benci bercinta hanya karena alasan ia adalah seorang istri dari seorang laki-laki. Maka tak jarang suaminya mengeluh lembut kepadanya agar diberikan izin untuk menidurinya sewaktu-waktu. Namun perempuan itu tetap menjunjung keras kepalanya. Ia hanya berpesan kepada suaminya,
“Buatlah aku percaya bahwa kau adalah laki-laki yang pantas aku nikahi.

Belum lagi dialog teoritisnya sudah hampir membuat suaminya itu gila dan merasa bodoh karena tak mampu membuat perempuan itu bertekuk lutut.
“Bersabarlah, sayang. Aku hanya sedang mengujimu. Bukankah dahulu kau telah mencicipi tubuhku sebelum kita resmi menikah? Ya, kali ini kau harus membayar hadiah tanpa usahamu itu.” ucap perempuan itu dengan nada datar.
“Aku bingung dengan maksudmu? Apa yang mesti aku lakukan untuk membuatmu berpikir bahwa kau adalah istriku, dan sudah sewajarnya juga jika aku menuntutmu bertingkah selayaknya seorang istri!” balas suaminya dengan nada semakin tinggi.
“Ya, aku memang istrimu, ya kita memang sepasang suami-istri, tapi bukan berarti aku harus menuruti semua maumu, bukan? Bukankah status sosial kita di mata Tuhan sama? Buatlah aku percaya kau memang pilihan yang tepat.”
“Sudahlah, pembicaraan ini semakin membuatku bosan.” jawab suaminya itu.
“Ya... bahkan ku lihat, kau saja tak mampu menjawab pertanyaan dan penyataanku itu. “Bagaimana bisa kau membuat moodku bagus untuk mengajakku bercinta. Hal remeh itu saja tak mampu kau balas dengan kata-kata yang baik dan bijak sebagai suami. Bagaimana bisa kau menuntunku menjadi istri yang baik?”
Bullshit!!! Aku sudah muak dengan gaya teoritismu itu. Berhentilah mengajakku berdebat. Kau tahu, ibuku sudah mengidamkan seorang cucu dari rahimmu itu!”
“Pergilah bercinta dengan wanita lain kalau gitu, jika pada dasarnya kau dan keluargamu itu hanya menginginkan keturunan, menginginkan anak dari hubungan pernikahan. Maaf, aku bukan hewan, tugasku bukan sekadar meneruskan keturunan manusia.”

Semakin banyak pertengkaran yang melanda perempuan itu. Dan, perempuan itu tampaknya semakin senang menjalaninya. Beberapa tetangga bermulut besar dengan usilnya juga terus membicarakan mereka, membicarakan bagaimana perempuan itu selalu enggan disetubuhi oleh suaminya sendiri.
“Untung ibuku telah bahagia di sana, melihatku sudah menikah rasanya sudah cukup. Maka sepertinya tugasku sebagai anak dalam perayaan kematian ibu telah selesai.”

Perempuan itu kemudian teringat akan keinginan masa lalunya menato bagian tubuh intimnya dengan tulisan “No Enter”, lalu kembali lupa menata rambut dan merapihkan pakaiannya.

2015



Menjelang

Di dalam panci kamu lihat tangis
Sebongkah batu besar ia masak karena peduli kian renta
Sepasang mata yang berkaca tanpa henti merindu bahagia, kini lelah menunggu didih
Tak ada satupun amarah dalam tangisnya
Meski dirundung duka, ia ingin tetap bahagia dipenghujung bulan
Lebaran, begitu orang banyak menyebutnya
Ia sambut dengan senyum
Ia tak memiliki apapun kecuali senyum
Senyum yang tulus untuk anak-anaknya memang lebih berharga ketimbang hidup berlinang berlian yang beringsut dalam kemunafikan
Tapi ia sadar, senyum tak membuat anak-anaknya kenyang
Lapar tetap terjaga, hingga biru sekujur tubuh mendera

2014

Di Kotaku

Di kotaku, anak-anak muda beranak pinak, menanggung beban kemalasan orang tuanya.
Di kotaku, anak muda mengangkangi Ibu dan Bapaknya, mengagahi mereka dalam moral ‘sampah’, lalu mengecup kening pembebasan dan menamainya dengan sebutan ‘jiwa muda’.
Di kotaku, anak muda berlari-lari, mengejar makna pendidikan, dan mendapatinya dalam kuburan.
Di kotaku, anak muda bercerita dengan nasib melalui elegi, menulisnya lewat novel dan membayarnya dengan air mata.
Di kotaku, anak muda membakar ban, memenuhi jalan-jalan dengan suara bising, menumpahkan amarah, memaki, dan berkhotbah.
Di kotaku, cinta anak muda begitu mudah didapat, cukup membayar tiga ratus ribu, kau akan dapat kan cinta seorang anak muda belia, ia tertawa, cantik, berdandan dengan gincu yang tebal, dan mengakhirinya dengan menyeka air mata.
Di kotaku, anak muda menuhankan cinta, membasuhnya lewat kata sayang, mengecup kening, saling memandang, menindih-nindih, melenguh nyaring seperti binatang, dan mengakhirinya dengan janji “aku akan menikahimu.” Janji-janji ‘taik’ di ucapkan seperti permen yang selalu manis.

Tak ada kesedihan, karena ini sebuah kota.

2014

Perempuan Di Balik Tirai

Kamu tahu perempuan itu apa?
Kamu tahu bagaimana perempuan bersikap?
Kamu tahu hati seorang perempuan?
Kamu tahu bagaimana aku bisa seperti ini?

Wajahnya yang anggun menanyakan hal itu kepadaku, ia tidak berkata dalam lisan.
Tapi, wajahnya yang menyimpan seribu tanya dan pernyataan yang mampu aku tangkap.
Di balik gincu tebal dan sorot mata yang dalam, ia hanya berkata “tawarlah aku, mengapa kau hanya menatapku, sedangkan kau harusnya tahu mengapa kau datang kemari.
Bukankah kau mencari cinta?
Lalu mengapa kau hanya melihat aku di balik tirai?”


2014

Nay! Kau kah, itu?


Sore ini Nay tengah duduk di tepi tempat tidur kamar miliknya. Ia pandangi dua buah dada miliknya yang bulat berisi. Dua kecupan hangat telah membekas di sana. Ia pandangi dengan seksama. “Warna merahnya indah. Aku ingin memamerkannya pada semua orang, betapa bahagianya aku bisa memiliki kekasih yang memberi rasa sayang kepadaku seperti ini.” ucap Nay.
Hari itu, senja semakin menipis. Kekasihnya telah datang tepat pada waktunya. Ia peluk Nay dan beri kecupan hangat di bibir delima sewaktu tiba. Nay sambut ia dengan begitu semangat. “Terima kasih, kamu sudah datang tepat waktu. Hari ini akan ada cinta yang kamu beri lagi padaku.“ ucap Nay dalam hati.
Nay, tak membutuhkan seikat bunga, cokelat, bahkan uang. Nay hanya butuh rayuan dan kata yang terdengar merdu dari rahim mulut kekasihnya itu.
“Hari ini aku cantik kan, sayang?” tanya Nay pada kekasihnya itu.
“Kau lebih cantik dari sekadar bunga. Bahkan, untuk berlian sekalipun.”
Nay tersenyum manja dan mengadu pada Tuhan betapa bahagianya mendengar kelakar kekasihnya itu.
“Nay, tahukah kamu, seberapa banyakpun kunang-kunang yang kau dapat hari ini, tak akan pernah kau dapati cintaku dibanyak ruang. Biarkan aku menjadi kunang-kunang yang datang pertama kepadamu tanpa perlu kau cari terlebih dulu.”
Nay luluh. Sama seperti perempuan pada umumnya kata yang terlahir dari rahim mulut laki-laki selalu membuat bahagia.
“Hari ini aku datang sengaja ingin memetik cintamu lagi. Bolehkah?”
“Tentu. Aku sudah menantimu. Berikan aku kehangatan. Aku dingin. Aku butuh kata-kata manis dan manja dari seekor anjing yang berpura menjadi badut.”
Kekasihnya itu telah melepas semua pakaiannya. Begitupun dengan Nay. Keringat mengucur deras di antara mereka ketika mata para malaikat tengah malu dan jijik dengan perbuatan mereka.
Tiba-tiba suara telepon berdering. Pergumulan itu lalu terhenti. Kekasih Nay bangkit dan meraih telepon miliknya yang berdering. Tercetak dengan jelas nama orang yang menelepon My wife. “Nay, aku harus pulang, istriku menelepon. Besok kita lanjutkan. Terima kasih sudah memberi kehangatan bagi kerinduanku.”
Nay nampak kecewa. Sore itu ia tak mendapat kecupan hangat lagi di kedua buah dadanya yang ingin ia pamerkan untuk banyak orang. Tapi, ia tak bersedih karena sebentar lagi kekasihnya yang lain, yang sudah membuat janji dengannya pasti memberikan apa yang Nay butuhkan.

Untuk kekasihku yang telah menikah. Terima kasih kau sempat hadir dalam hidupku dan membawaku kepada rasa bersalah karena pergi meninggalkan Tuhan. Aku telah tahu rasanya cinta. Dan kini, aku telah menikmati cinta yang  tulus dari banyak orang.


Balon Udaraku Mengenang Jasadmu

Kita masih terdiam di pintu dan beberapa kali mengalami keputusasaan dalam luka-luka yang menggores
Aku lihat sorot matamu hanya menyisakan beberapa peluru yang tak sempat kau tembakkan
Aku juga masih melihat ada janji yang belum kau tuntaskan
Bayang-bayangmu hampir sampai di sini

Tapi aku hanya kembali menimbang sore
Anganku sudah melayang jauh, hanya saja itu masih dalam pikiran
Sudah beberapa kali aku mencoba tidur dan tak sempat menyanyikan lagu rindu
Untuk kesekian kali, hanya corak dari gores tubuhmu yang hadir

Kini balon udaraku telah pergi jauh dan menyisakan jasadmu
Dan, maaf apabila air mataku masih tak mampu membeli mimpimu dengan selembar kertas

Selamat jalan cita

2015

Mengunjungi Rindu Dari Mata yang Uzur

Kita mungkin telah lupa pada apa yang kita lakukan disuatu malam
Dalam kenang, aku memuntahkan paku-paku
Aku menanti kamu di hadapan surya yang raib setelah hujan
Selayaknya yang mungkin kita tunggu
Selayaknya lambaian tangan, disuatu hari yang tak pernah mengenal nama
Aku jatuh hati pada gadis yang lupa akan namanya, lalu ia diam, menungguku berbicara, seloroh daun-daun yang jatuh lupa akan kodratnya
Di mana ia kini, hingga tak ada lagi suara yang pernahku dengar, di mana ia?
Lalu angin sedikit berbisik, dan menceritakan bahwa mungkin saja Tuhan menempatkannya pada halte bernama, “penantian.”

2015